STKIP Hamzar Lombok Utara, SK Kemdiknas RI No. 04/D/O/2011 menerima mahasiswa baru Tahun Akademik 2011/2012, dengan Program S-1 PGSD dan PGPAUD.Tempat Pendaftaran: Adlan Mamnun, Dusun Lendang Mamben Desa Anyar, hp. 081 907 520 004 atau Studio Primadona FM, Ancak Desa Karang Bajo Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara (M. Syairi) hp. 081 917 760 145. Email: ariprimadona@gmail.com,stkiphamzar8@gmail.com###Program Yamtia: Pendirian Perguruan Tinggi D-III Perbankkan Syari'ah, Perguruan Tinggi S-1 Tarbiyah dan kedua Perguruan Tinggi dalam proses perijinan, Pendirian Pasar Ponpes, Bank Syari'ah, dan Pendirian Pusat Kesehatan Ponpes. Bagi Mahasiswa STIKES dan STKIP Hamzar diharap bergabung digrup FB STKIP Hamzar Lombok Utara

Kamis, 20 Oktober 2011

Hikmah Memaknai Bencana

Oleh KH Said Aqil Siradj

Bencana datangnya tak mudah diterka. Sedangkan, berbagai bencana dahsyat yang terjadi selalu diwarnai oleh beragam penjelasan, sikap, dan pola tindakan. Bencana seolah tak mampu menghadirkan keimanan baru yang semakin memusatkan kepercayaan pada sumber utama kehidupan yakni Allah SWT. Sebabnya, masih  sedemikian menancapnya kepercayaan mitologis yang bernuansa takhayul dan khurafat.

Jarak mitos dan nalar rasional pun kian merenggang. Fenomena alam masih lebih banyak dikonstruksi oleh mitos ketimbang ilmu pengetahuan. Demikian dahsyat dan kompleksnya perilaku alam, ilmu pengetahuan, dan teknologi pun masih belum sepenuhnya mampu mencandra geliat alam semesta dengan validitas yang tinggi. Di sela-sela "kenisbian" ini, lalu mitologi pun kian mekar ketimbang sains modern.

Bagaimana agama memaknai bencana? Dalam panduan ajaran Islam, bencana adalah "musibah", bukan petaka atau "azab". Kendati, boleh jadi terdapat dimensi azab Tuhan di dalamnya terutama dalam menghukum perilaku manusia yang merusak (fasad) di alam semesta. Suatu musibah, tentu selalu memerlukan kepasrahan iman dalam sabar dan tawakal, juga hikmah bagi kehidupan. Para korban tak boleh berlama-lama dalam duka dan nestapa, karena jalan hidup masih terbuka dan dibukakan Tuhan. Bencana bukan akhir segala-galanya.

Musibah dalam khazanah Islam adalah apa yang telah menimpa (ashaba) secara tidak menyenangkan, dari yang berkadar ringan hingga berat. Sebab, musibah bisa beragam. Karena ulah manusia sendiri, baik diri sendiri maupun orang lain, yang menyebabkan penderitaan hidup. Atau, karena ulah hukum alam sebagaimana bencana gempa, banjir, tsunami, dan gunung meletus. Kita ingat,  hukuman Tuhan seperti yang menimpa kaum Madyan, Saba, dan Firaun, adalah ulah manusia yang berbuat "fasad" (kerusakan). 

Bagi setiap orang beriman, musibah apa pun sebab dan jenisnya, betapapun menyakitkan dan menyengsarakan, akhirnya harus diterima sebagai kenyataan "qadha dan taqdir" yang memerlukan pengimanan. Itulah, makna dari rukun iman yang keenam, iman kepada ketentuan Allah yang menimpa diri kita. Dengan naik (mi'raj) ke langit iman, maka siapa pun yang mengalami musibah, seberat apa pun, akhirnya akan sampai ke titik keseimbangan. Titik harmoni dalam suasana jiwa yang thuma'ninah dan mutmainah.

Kosmologi "musibah" dalam mengonstruksi bencana, juga memerlukan ikhtiar-ikhtiar dan pertobatan baru bagi siapa pun yang menjalani kehidupan selama ini. Nabi Yusuf, Ibrahim, Ismail, dan Nabi Muhammad SAW memberi teladan bagaimana menghadapi dan mengubah musibah menjadi suatu energi "kesabaran yang indah" (QS al-Ma'rij: 5; Yusuf: 18, 82), juga menghasilkan sikap "syukur", sebagaimana layaknya orang-orang yang tercerahkan dan mencerahkan kehidupan dalam sosok "ulul azmi" (QS al-Ahqaf: 35).

Musibah bahkan diubah menjadi kepasrahan bertauhid dengan simbol inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, sebagaimana menjadi pakaian orang-orang yang sabar yang bermuara pada raihan berkah dan rahmat Allah (QS al-Baqarah: 155-157). Redaktur: Siwi Tri Puji B
READ MORE - Hikmah Memaknai Bencana

Selasa, 04 Oktober 2011

Etika Berbicara

Oleh: Hamzah Zaelani

Allah berfirman: "Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir." (QS Qâf [50]:18)

Kebanyakan dari kita tidak menyadari bahwa apa yang kita ucapkan akan ada catatannya. Kita seenaknya saja berkata-kata. Bahkan terkadang kita mengeluarkan kata-kata yang tidak disukai oleh Allah dan Rasul-Nya. Alih-alih bisa menyejukkan hati orang yang mendengarnya, kata-kata yang keluar dari mulut kita kebanyakan kata-kata yang bisa menjadikan hati membatu, lebih jauhnya lagi memicu permusuhan dan pertengkaran. Baik kita melakukannya secara langsung maupun melalui alat-alat komunikasi.

Sekarang ini, tidak sedikit orang yang dijebloskan ke penjara hanya gara-gara menuliskan sebuah kalimat di jejaring sosial yang mengandung pelecehan. Di dunia saja kata-kata yang kita ucapkan sudah diperhitungkan orang lain, apalagi di akhirat kelak. Ingat pepatah mengatakan “mulutmu adalah harimaumu.” Oleh karena itu, kita harus pandai-pandai menjaga lisan kita. Jika lisan kita terjaga maka kita akan selamat.

Islam telah memberikan peraturan kepada kita dalam segala aspek kehidupan. Termasuk dalam cara berbicara atau berkomunikasi. Rasulullah Saw. Mengaitkan kesempurnaan iman seseorang dengan perkataan yang keluar dari lisannya. Beliau bersabda: "Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diamlah.” (HR Bukhari dan Muslim).

Perkataan yang baik adalah perkataan yang mengandung hikmah dan bisa mendekatkan diri kepada Allah. Dan contoh terbaik yang bisa kita ikuti dalam bertutur adalah Rasulullah Saw, para sahabat dan salafushalih. Ada beberapa etika yang harus kita perhatikan dalam berbicara atau bercakap-cakap dengan orang lain. Dalam al-Wafi disebutkan beberapa etika berbicara, diantaranya:

#1  Hendaklah kita membicarakan sesuatu yang bermanfaat, dan menahan diri dari pembicaraan yang mengandung sesuatu yang diharamkan. Allah Swt berfirman: "Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna," (Qs al-Muminûn [23]:3). Lagha dalam ayat ini maksudnya adalah perkatataan/pembicaraan yang bathil, seperti ghibah, namimah, dan sebagainya.

#2 Hendaklah kita tidak banyak membicarakan hal-hal yang mubah, karena akan menjurus kepada sesuatu yang haram dan makruh. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah kalian banyak berkata-kata kecuali perkataan yang mengandung dzikrullah, karena banyak berkata-kata yang tidak mengandung dzikrullah akan membuat hati membatu, sedangkan sejauh-jauhnya manusia adalah orang yang keras hatinya.” (HR Tirmidzi dari Ibnu ‘Umar).

Dalam sebuah riwayat ‘Umar ra.berkata,”Siapa saja yang banyak berbicara/berkata-kata maka akan sering pula ia tergelincir, siapa saja yang banyak tergelincir maka akan banyak pula dosanya, dan siapa saja yang dosanya maka nerakalah tempat yang lebih utama baginya.”

#3 Hendaklah kita berbicara sesuai dengan kebutuhan, atau dalam rangka menerangkan kebenaran, dan amar makruf nahyi mungkar, sehingga diharapkan dari hal tersebut kita dapat mengambil pelajaran berupa sifat-sifat yang mulia dan meninggalkan perbuatan maksiat, karena jika diam/ tidak banyak mengomentari kebenaran dengan komentar yang bukan-bukan maka setan pun akan termangu dan tidak akan bisa berbuat banyak.

Itulah beberapa di antara etika berbicara yang harus kita perhatikan. Apalagi di zaman sekarang ini, kebanyakan orang lebih senang membicarakan sesuatu yang sia-sia dan lebih nyaman mendengarkan syair-syair yang tidak bermutu daripada mendengarkan ayat-ayat suci dan menyebut-nyebut asma Allah. Sehingga peluang untuk mendapatkan rahmat Allah terasa sangat jauh. Dengan menjaga lisan kita dan membiasakannya untuk mengeluarkan kata-kata yang bermakna dan bermanfaat maka kita memiliki peluang yang sangat besar meraih keridoan dan rahmat-Nya.

Penulis adalah sahabat Republika Online, ketua bidang Jamiyah Pemuda Persis Garut
READ MORE - Etika Berbicara